Disclaimer: silahkan jika anda menilai aku mengumbar aib,
tapi aku tidak tahan memendam ini semua. Aku tidak bisa terus menerus menyimpan
emosiku ini. Yang bilang aku tidak menghargai ayahku, kenapa dia tidak
menghargai waktu emasku saat aku kecil?
Aku tak mengenal dengan baik ayahku sejak kecil
Yang ku tau hanya dia adalah ATM keluargaku, yang antar sekolah,
pemarah, di rumah hanya tidur, jika aku berisik karena bermain saja dipukul,
jika aku melakukan kesalahan sedikit atau dapat nilai jelek saja pasti di-strap
dan dicaci maki goblok goblok goblok, mahal-mahal sekolahmu, tapi kenapa kakak
dan adikku yang tidak pernah dapat ranking mereka ga sampai seperti ini
dimarahinya, mengajak main saja tidak apalagi mengajarkan agama.
Jika aku berusaha mengingat ingat kebaikannya, apa yahh,
susah. Yang ada di benakku hanya mencari nafkah, selebihnya menuntut.
Berpuluh pria ku kencani, demi dapat kepuasan cinta
dari seorang pria, bertanya-tanya pria yang seperti apasih yang sesuai dengan
karakterku.
Tak ada kata terucap anakku sayang anakku pintar.
Pernikahanku pun hanyalah pelarian dari keluargaku, keluarga
besarku juga. Ayahku menilai juga om-tantekku menilai aku hanyalah benalu bagi
kakakku.
“Jangan nyusahin mbakmu”, “nyuci sendiri”, “jangan
ngerong-rong mbakmu”
Kata-kata itu yang selalu muncul ketika sebelum menikah.
Aku bisa kok mandiri, aku bisa kok cari duit sendiri. Ketika
ada kebutuhan rumah di kampung malah anak-anaknya yang dimintai tolong. Beribu tanya
kemana saja uang pensiunanmu itu?
Habis untuk membeli seorang teman?
Pernikahanku pun 100% dengan uangku sendiri dan suamiku,
amplop dari teman-teman ayahku, ya aku kasih ke ayahku.
Aku pun berhak berjuang demi kehidupanku sendiri, keluargaku
sendiri, sampai saat ini pun motor satu pun tak punya, cemooh orang kantorpun
datang, 8 tahun bekerja tak berbekas, aku pun bingung.
Penghasilanku rata-rata ku habiskan di aspek hiburan karena
masa kecilku yang tidak terpuaskan.
Suatu saat tiba kedekatanku dan ayah diujicoba saat ayahku
meminta tinggal di Jakarta untuk menjaga anakku.
Kami bertengkar hebat, hanya gara-gara masalah sepele. Pertengkaran
satu aku mengalah, pertengkaran ke dua aku tidak akan mengalah, karena kenapa
sebagai anak harus mengalah? Anak juga punya pendapat, cara pandang sendiri,
kenapa orang tua tidak mau balik mendengarkan? Kenapa anak-anak saja yang harus
mengerti orang tua?
Menjadi anak apakah harus dituntut menjadi pendengar? Mengalah?
“Orang tuamu kesepian, lebih legowo lah jadi pendengar”
people said
Halooo kemana aja, masa kecilku bagaimana? Itu yang dia
tanam, dia ga respect sama aku dari kecil. Jadi wajar aja kalau sekarang
seperti ini.
Sekarang sudah menua balik lagi kan butuh anaknya, kemana
aja dulu. Apa susahnya sih minta maaf kalau salah. Apa susahnya sih kalo
mengaku salah. Kalau tetap saja egois, kotor hati ya susah. Tak sadar aku pun mencontoh sikap ayah, kotor hati.
Aku pun benci dengan diriku sendiri.
PS: poto profil google ku sedang memeluk ayahku dalam tangis. aku pun menulis ini menangis. Maafin putri yah. aku pun takut anakku mengalami seperti aku, takut terulang.
No comments:
Post a Comment